BELAJAR DARI MUSIBAH TENGGELAMNYA KAPAL SUNGAI UNTUK ANGKUTAN PENUMPANG DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
PANGKALAN BALAI — Kondisi Provinsi Sumatera Selatan yang sebagian wilayahnya terdiri dari dataran rendah yang dialiri oleh sungai-sungai yang cukup besar dan dijadikan sebagai prasarana angkutan air untuk menghubungkan beberapa daerah yang bahkan sampai saat ini tidak ada pilihan lain untuk moda transportasi lain baik untuk angkutan barang maupun angkutan penumpang atau dalam istilah lain menjadi captive area yaitu tidak ada pilihan lain moda angkutan kecuali angkutan sungai.
Transportasi air atau angkutan sungai yang selama ini beroperasi di Sumatera Selatan terdiri dari dua jenis angkutan yaitu angkutan barang dan angkutan penumpang; dimana untuk sarana angkutan barang maupun angkutan penumpang ini dapat dibedakan berdasarkan type, bobot/kapasitas baik body maupun mesin, serta bahan bangunan kapal yang digunakan. Adapun kapal angkutan sungai yang beroperasi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan saat ini adalah :
- Tugboat/gandeng : berfungsi untuk menarik/menggandeng/mendorong tongkang
- Tongkang : kapal tanpa mesin dan berfungsi untuk angkutan barang
- Jukung : kapal kayu bermesin dan utamanya untuk angkutan barang
- Ketek : kapal kayu bermesin dan utamanya untuk angkutan barang
- Speedboat/tempel : kapal kayu/fiber bermesin (outboat) utamanya untuk angkutan penumpang
Masyarakat dalam walayah Provinsi Sumatera Selatan terutama di Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir (OKI) yang berada dipesisir pantai timur Sumatera Selatan adalah masyarakat yang saat ini diwilayahnya ada beberapa tempat yang masih belum memiliki pilihan angkutan karena angkutan jalan belum dapat menembus daerah tersebut, sehingga semua kegiatan untuk mengangkut hasil produksi utamanya pertanian maupun mengangkut barang-barang kebutuhan dari Palembang, semuanya dilakukan dengan menggunakan angkutan sungai, demikian juga halnya dengan angkutan penumpang yang umumnya menggunakan speedboat baik itu dengan speedboat berkekuatan mesin 40 PK ( 9 penumpang), 200 PK ( 40 penumpang) maupun yang 2×200 PK ( 80 orang penumpang).
Speedboat 40 PK dengan body kayu atau juga sering disebut motor tempel atau speed lidah ini bila dilihat dari kapasitas penumpang yang diizinkan dalam sertifikat kesempurnaan kapal adalah 6 orang penumpang, namun dalam opersional umumnya mengangkut 9 – 10 orang, dimana biasanya life jacket yang dipersyaratkan setiap penumpang dilengkapi 1 lifejacket nyatanya tidak ada sama sekali, demikian juga halnya dengan speed boat yang besar. Bangunan kapal penumpang sungai yang terbuat dari kayu ini untuk yang 200 PK maupun yang 400 PK, untuk menggunakanya jangan berharap nyaman, dari kata selamat saja masih sangat jauh karena konstruksi yang rendah dengan bangku-panjang yang melintang dan rapat serta pintu keluar masuk dari depan dan belakang, membuat para penumpang yang akan keluar atau masuk ke kapal ini sangat sulit dengan merunduk dan melangkah antar tempat duduk, ditambah lagi jendela yang ada dikanan kiri kapal sangat kecil.
Permasalahan yang dihadapi oleh para operator angkutan sungai untuk penumpang ini adalah biaya pembangunan dan operasional kapal sungai untuk penumpang yang cukup tinggi, sehingga untuk tariff yang dibebankan kepada penumpang akan menjadi mahal, untuk waktu tempuh 2 jam keatas (kecepatan antara 25 – 30 knot) umumnya dipungut biaya Rp. 100.000,- operasional kapal penumpang sungai ini seperti mobil travel yaitu antar jemput dari desa ke desa dengan tujuan akhirnya di kota Palembang, dimana desa-desa yang umumnya berada dipinggir sungai atau jalur-jalur pelayaran sungai disinggahi oleh operator yang biasanya saling mengenal dan berlangganan antara satu dengan yang lain atau bahkan dengan system sewa/charter sehingga mobilitas mereka bisa terlayani. Apabila akan diterapkan kewajiban operator untuk menyediakan alat-alat keselamatan pelayaran seperti life jacket maupun pelampung, tentunya harus disiapkan space untuk menempatkan peralatan keselamatan tersebut didalam kapal, dan akibatnya jumlah penumpang yang bisa diangkut pastinya akan berkurang yang akhirnya tarif yang akan dibebankan kepada para penumpang akan jauh lebih tinggi dari kondisi saat ini yang memang sudah mahal bila dibandingkan jarak tempuh bila menggunakan angkutan jalan. apalagi bila dilakukan modifikasi terhadap alat angkutnya itu sendiri yang memenuhi aspek keselamatan, yang pasti biaya pembangunan kapal termasuk operasionalnya lebih mahal atau minimal sama, tetapi jumlah penumpang yang bisa diangkut akan lebih sedikit sehingga pembebanan biaya/tarif angkutan kepada para penumpang akan lebih besar.
Untuk saat ini para operator angkutan sungai untuk penumpang adalah pribadi-pribadi pemilik kapal sungai itu sendiri yang diusahakan dan tentunya telah memenuhi persyaratan minimal untuk operasional dengan diterbitkanya Sertifikat Kesempurnaan dari Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota dan beberapa dokumen kapal lainnya termasuk peralatan keselamatan yang harus dimiliki, namun dalam pelaksanaan operasional biasanya alat perlengkapan keselamatan ini tidak ada di dalam kapal dengan berbagai macam alasan seperti space yang tidak tersedia, biaya pengadaan peralatan yang cukup mahal, sampai dengan bila mengurangi penumpang maka tidak akan menutup biaya operasional dan lain-lain yang dampaknya bila para operator kapal sungai ini tidak bisa beroperasi, maka masyarakat kita yang berdomisili di daerah-daerah yang terisolir karena belum terhubung dengan prasarana jalan raya tersebut tidak dapat melakukan aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidup karena mobilitasnya terbatas. Kalau dilihat dari tindakan yang dilakukan pemerintah baik Kabupaten/Kota maupun Provinsi serta Kementerian Perhubungan sepertinya sudah cukup memadai, seperti kegiatan bimbingan teknis, sosialisasi, penertiban, dan pemberian bantuan alat-alat keselamatan sudah dilakukan, namun kondisi angkutan sungai untuk penumpang yang memang membutuhkan dukungan pembiayaan yang cukup besar maka kejadian-kejadian musibah seperti ini masih sering terjadi.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah seperti ini, sudah selayaknya pemerintah turut campur tangan membantu menyelesaikan berbagai permasalahan angkutan sungai untuk penumpang ini, karena memang sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat akan transportasi air yang selamat. Pemerintah Kabupaten Banyuasin melalui Dinas Perhubungan sudah sejak beberapa tahun terakhir ini mengajukan permohonan ke pemerintah Provinsi maupun Kementerian Perhubungan untuk membuatkan prototype alat angkutan sungai untuk penumpang ini yang memenuhi aspek keselamatan dan tentunya juga sebagaimana harapan masyarakat dengan kecepatan yang memadai serta biaya pembangunan dan operasionalnya yang terjangkau. Namun usulan tersebut sampai saat ini belum dapat direalisasikan termasuk usulan kami terkait dengan subsidi angkutan sungai. Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam kondisi tertentu angkutan penumpang masih disubsidi oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan, seperti angkutan Kereta Api ekonomi dan Komuter, Angkutan Perintis baik angkutan jalan maupun penyeberangan, namun untuk angkutan sungai sampai saat ini belum pernah ada, kalau masalah operatornya yang saat ini masih pribadi-pribadi, tentunya kedepan bisa diserahkan ke badan usaha milik desa (Bumdes) yang saat ini sudah berdiri hampir diseluruh desa yang ada terutama didaerah transmigrasi. Untuk itu dengan keterbatasan pembiayaan yang dimiliki Dinas Perhubungan Kabupaten Banyuasin dan tidak mungkin dapat melakukan sendiri semua kegiatan sebagaimana tersebut diatas, tentunya kami banyak berharap kepada Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan kiranya dapat membantu masyarakat kami umumnya Sumatera Selatan dengan bantuan sarana dan prasarana serta subsidi angkutan sungai agar aspek keselamatan yang selalu didambakan dapat terwujud.
Pesan ini disampaikan
Dinas Perhubungan Kabupaten Banyuasin
Ttd
H. Supriadi, SE., M.STr